Sunday 5 July 2015

Kasus Resale Price Maintenance (RPM) di Sektor Food Retail Jerman


Belum lama ini, pada tanggal 18 Juni 2015, otoritas persaingan Jerman – Bundeskartellamt – memutuskan sejumlah supermarket dan produsen makanan di Jerman telah melanggar larangan penentuan harga secara vertikal untuk penjualan kembali suatu produk dengan mengatur harga produk yang dijual di supermarket (penetapan harga jual kembali atau penetapan harga vertikal; resale price maintenance; vertikale Preisbindung). Beberapa supermarket dan produsen, termasuk sejumlah supermarket ternama seperti Rewe, Edeka, dan Aldi telah terlibat sejak tahun 2004-2005 dan kasus ini melibatkan sejumlah besar produk, termasuk kopi dan cokelat, sebagaimana diberitakan di Handelsblatt. Sebagai akibat dari praktik tersebut, konsumen telah dirugikan karena tingginya harga produk dan sulitnya menemukan supermarket lain untuk mendapatkan harga yang lebih baik.

Larangan RPM di Jerman dan Kartel Harga

Praktik kartel dilarang menurut hukum persaingan Jerman melarang dalam §1 GWB (Gesetz gegen Wettbewerbsbeschrängkungen atau Undang-undang Larangan Pembatasan terhadap Persaingan)  dan hukum persaingan Uni Eropa dalam Pasal 101(1) TFEU (Treaty on the Functioning of the European Union). Termasuk dalam larangan tersebut adalah membuat kesepakatan di antara pelaku usaha yang tujuan atau akibatnya adalah menghindari, membatasi, atau memalsukan persaingan. Salah satu bentuk pembatasan persaingan adalah dengan membuat kesepakatan di antara pelaku usaha untuk mengatur harga, hal ini bisa antarpesaing (horisontal) atau antarpelaku usaha dalam rantai produksi yang berbeda, misalnya produsen dengan retailer (vertikal). RPM diperlakukan sebagai salah satu bentuk dari kartel harga dengan spesifikasi dilakukan secara vertikal antara produsen dengan retailer untuk menentukan harga di tingkat retail dan termasuk dalam perbuatan yang dilarang menurut §1 GWB, dengan pengecualian khusus untuk industri surat kabar dan majalah menurut §30 GWB.

Kartel harga dalam hukum persaingan di Jerman dan di banyak negara dianggap sebagai salah satu bentuk kartel yang sangat berbahaya sehingga dinyatakan sebagai per se illegal dan sering disebut juga sebagai hard core cartel. Hal ini berarti bahwa kesepakatan pengaturan harga di antara pesaing sudah merupakan pelanggaran terhadap hukum persaingan tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu ada atau tidaknya kerugian yang ditimbulkan terhadap persaingan. Dikatakan berbahaya, sebab kartel harga tidak memiliki aspek positif yang dapat dipertimbangkan untuk mengkompensasikan kerugian yang ditimbulkannya terhadap persaingan.

Dalam hukum persaingan Jerman, tahap pertama untuk menganalisis suatu perbuatan yang diduga merupakan pelanggaran terhadap hukum persaingan adalah melihat tujuan dari perbuatan tersebut. Tahap kedua adalah melihat dampak perbuatan tersebut terhadap persaingan. Apabila terbukti bahwa tujuan perbuatan an sich memang untuk menghindari, membatasi, atau memalsukan persaingan, maka tidak perlu lagi ditempuh tahap analisis yang kedua untuk menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap hukum persaingan.

Dalam kasus RPM tersebut, penetapan harga dibuat oleh produsen untuk supermarket guna menyeragamkan harga di tingkat retail (supermarket). Bagi produsen hal ini menguntungkan karena memudahkannya untuk menentukan harga yang lebih tinggi dari yang sewajarnya.

Meskipun demikian, khusus mengenai RPM, terdapat perbedaan pendekatan di antara hukum persaingan di beberapa negara. Sejumlah ahli hukum persaingan berpendapat bahwa RPM tidak sama dengan kartel harga dan karena tidak selalu merugikan persaingan, maka tidak semestinya diperlakukan sebagai per se illegal, melainkan harus digunakan pendekatan rule of reason untuk menentukan apakah suatu RPM dapat dibenarkan atau tidak. Keuntungan bagi persaingan terutama adalah bahwa RPM dilakukan untuk menghindari free riding oleh retailer. Sebagai contoh, saya pergi ke supermarket A karena di sana saya mendapatkan informasi lengkap mengenai suatu produk X yang saya butuhkan, namun setelah saya mendapatkan informasi tersebut, saya membeli produk X dari supermarket B yang sebenarnya tidak memberi informasi apapun untuk konsumen namun harganya jauh lebih murah. Dalam contoh ini, supermarket B merupakan free rider alias numpang gratis terhadap pelayanan baik dari supermarket A yang tentunya memakan biaya bagi A dan karena itu harga produk X di A lebih mahal. RPM oleh karena itu kadang dilakukan untuk mendorong persaingan non-harga di tingkat retail untuk produk dalam brand yang sama (intra brand competition), terutama untuk memberikan lebih banyak pelayanan bagi konsumen. Hukum persaingan di Amerika Serikat (US Antitrust), misalnya, sejak kasus Leegin tahun 2007 telah beralih dari pendekatan per se illegal ke pendekatan rule of reason dalam kasus-kasus RPM.

Bagaimana di Indonesia? Secara umum kartel juga dilarang di Indonesia. Penetapan harga dilarang dalam Pasal 5-8 UU No. 5 Tahun 1999. Pasal 8 melarang secara khusus RPM. Namun demikian, dari perumusan pasal tersebut, hukum persaingan Indonesia tampaknya lebih condong pada pendekatan rule of reason daripada per se illegal. Pasal 8 memuat elemen dampak negatif terhadap persaingan dalam perumusan di akhir kalimat pasal yang mengatakan “… sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pendekatan ini juga terlihat dalam Peraturan KPPU No. 8 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 8 (Penetapan Harga Jual Kembali) – dapat diunduh dari website KPPU di sini. Pengaturan harga dalam bentuk regulasi yang menentukan harga plafon (harga maksimal) atas suatu produk untuk kesejahteraan konsumen namun demikian tidaklah dilarang dan hal ini tidak termasuk dalam pembahasan kali ini.

Loyalitas Anggota Kartel

Kartel memiliki daya tarik karena keuntungan ekonomis yang diperoleh oleh anggota-anggotanya. Kartel juga sulit dibongkar karena loyalitas anggota-anggotanya untuk menjaga kerahasiaan kartel. Dengan demikian, untuk menjalankan praktik kartel diperlukan bukan hanya jaminan profit yang akan diperoleh kemudian, melainkan juga insentif untuk para anggotanya untuk tidak keluar dari kartel dan lebih lagi, membocorkan rahasia kartel. Selain itu, dibutuhkan pula kontrol untuk memastikan kepatuhan anggota kartel secara konsisten. Dalam kasus di atas, sebagai contoh, produsen yang terlibat dalam kartel memberikan bonus, refund, atau rabat sebagai imbalan bag suprmarket yang loyal. Biaya yang dikeluarkan untuk imbalan ini diperlakukan sebagai biaya untuk insentif promosi (Werbekostenzuschüsse). Terhadap yang tidak patuh, produsen akan mengenakan sejumlah sanksi mulai dari mengurangi bonus hingga menghentikan pasokan barang. Loyalitas anggota kartel dapat digambarkan dalam konsep the prisoner's dilemma, namun hal ini akan dibahas dalam kesempatan lain.

Pembuktian Kartel

Manakala harga suatu produk tertentu di pasar sedemikian tinggi dan semua pelaku usaha menawarkan harga yang sama, maka perlu dicek apakah telah terjadi praktik pengaturan harga oleh pelaku usaha. Tentu hal tersebut bukanlah bukti adanya kartel, melainkan dapat digunakan sebagai salah satu indikasi untuk mencurigai adanya hal yang tidak wajar di pasar. Kesepakatan pengaturan harga lazimnya dilakukan secara diam-diam dan sulit dibuktikan.

Di Indonesia, kesulitan pembuktian praktik kartel  ditambah lagi dengan keterbatasan otoritas persaingan untuk memperoleh alat bukti. Di Jerman, penggeledahan dan penyadapan dapat dilakukan oleh Bundeskartellamt. Kasus di atas terbongkar setelah penggeledehan yang dilakukan semula karena adanya kecurigaan kartel harga horisontal di antara pelaku retail (supermarket). Di Indonesia, kewenangan KPPU rupanya tidak sampai sejauh itu. Beberapa terobosan yang telah efektif digunakan di negara lain juga rupanya masih dijajagi penerapannya di Indonesia dan untuk itu telah terdapat sejumlah hal yang dapat menjadi benturan. Salah satunya, program leniency yang memberikan perlindungan untuk whistle blower yang membantu otoritas persaingan untuk membongkar kartel akan sulit untuk diterapkan secara efektif jika sanksi atas pelanggaran kartel terlalu rendah, sehingga leniency yang diberikan untuk whistle blower tidak lagi memiliki daya tarik mengingat risiko yang tidak kecil yang ditanggungnya untuk membocorkan rahasia kartel.

Penutup

Industri retail makanan memang merupakan sektor yang sangat penting karena menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. Hukum persaingan dapat memberi kontribusi penting untuk menjaga agar kepentingan masyarakat, dalam hal ini konsumen, terlindungi dari praktik-praktik persaingan yang tidak sehat, misalnya perilaku curang demi meraih posisi dan keuntungan monopolistis, apakah dengan cara menyalahgunakan kekuatan pelaku usaha dalam pasar ataupun dengan membuat kesepakatan curang seperti dalam kasus di atas. Harga sampai dengan saat ini masih merupakan elemen yang dapat digunakan sebagai indikasi. Namun demikian, di kemudian hari, hukum dan otoritas persaingan akan berhadapan dengan tantangan yang lebih besar lagi, manakala elemen lain mulai harus diperhitungkan dalam analisis dan bukan tidak mungkin akan mensyaratkan sejumlah perubahan dalam peraturan dan kebijakan persaingan, apalagi karena elemen ini tidak selalu sejalan dengan harga rendah: inovasi.