Belum lama ini, pada tanggal 18 Juni 2015, otoritas
persaingan Jerman – Bundeskartellamt
– memutuskan sejumlah supermarket dan produsen makanan di Jerman telah
melanggar larangan penentuan harga secara vertikal untuk penjualan kembali
suatu produk dengan mengatur harga produk yang dijual di supermarket (penetapan
harga jual kembali atau penetapan harga vertikal; resale price maintenance; vertikale Preisbindung). Beberapa
supermarket dan produsen, termasuk sejumlah supermarket ternama seperti Rewe,
Edeka, dan Aldi telah terlibat sejak tahun 2004-2005 dan kasus ini melibatkan
sejumlah besar produk, termasuk kopi dan cokelat, sebagaimana diberitakan di Handelsblatt.
Sebagai akibat dari praktik tersebut, konsumen telah dirugikan karena tingginya
harga produk dan sulitnya menemukan supermarket lain untuk mendapatkan harga
yang lebih baik.
Larangan RPM di Jerman dan Kartel Harga
Praktik kartel dilarang
menurut hukum persaingan Jerman melarang dalam §1 GWB (Gesetz gegen Wettbewerbsbeschrängkungen
atau Undang-undang Larangan Pembatasan terhadap Persaingan) dan hukum persaingan Uni Eropa dalam Pasal
101(1) TFEU (Treaty on the Functioning of the European Union). Termasuk
dalam larangan tersebut adalah membuat kesepakatan di antara pelaku usaha yang
tujuan atau akibatnya adalah menghindari, membatasi, atau memalsukan persaingan.
Salah satu bentuk pembatasan persaingan adalah dengan membuat kesepakatan di
antara pelaku usaha untuk mengatur harga, hal ini bisa antarpesaing
(horisontal) atau antarpelaku usaha dalam rantai produksi yang berbeda,
misalnya produsen dengan retailer (vertikal). RPM diperlakukan sebagai salah
satu bentuk dari kartel harga dengan spesifikasi dilakukan secara vertikal
antara produsen dengan retailer untuk menentukan harga di tingkat retail dan
termasuk dalam perbuatan yang dilarang menurut §1 GWB, dengan pengecualian
khusus untuk industri surat kabar dan majalah menurut §30 GWB.
Kartel harga
dalam hukum persaingan di Jerman dan di banyak negara dianggap sebagai salah
satu bentuk kartel yang sangat berbahaya sehingga dinyatakan sebagai per se illegal dan sering disebut juga
sebagai hard core cartel. Hal ini
berarti bahwa kesepakatan pengaturan harga di antara pesaing sudah merupakan
pelanggaran terhadap hukum persaingan tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu
ada atau tidaknya kerugian yang ditimbulkan terhadap persaingan. Dikatakan
berbahaya, sebab kartel harga tidak memiliki aspek positif yang dapat
dipertimbangkan untuk mengkompensasikan kerugian yang ditimbulkannya terhadap
persaingan.
Dalam hukum
persaingan Jerman, tahap pertama untuk menganalisis suatu perbuatan yang diduga
merupakan pelanggaran terhadap hukum persaingan adalah melihat tujuan dari
perbuatan tersebut. Tahap kedua adalah melihat dampak perbuatan tersebut
terhadap persaingan. Apabila terbukti bahwa tujuan perbuatan an sich memang untuk menghindari, membatasi, atau memalsukan
persaingan, maka tidak perlu lagi ditempuh tahap analisis yang kedua untuk
menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap hukum persaingan.
Dalam kasus RPM tersebut, penetapan harga dibuat oleh produsen
untuk supermarket guna menyeragamkan harga di tingkat retail (supermarket). Bagi
produsen hal ini menguntungkan karena memudahkannya untuk menentukan harga yang
lebih tinggi dari yang sewajarnya.
Meskipun
demikian, khusus mengenai RPM, terdapat perbedaan pendekatan di antara hukum
persaingan di beberapa negara. Sejumlah ahli hukum persaingan berpendapat bahwa
RPM tidak sama dengan kartel harga dan karena tidak selalu merugikan
persaingan, maka tidak semestinya diperlakukan sebagai per se illegal, melainkan harus digunakan pendekatan rule of reason untuk menentukan apakah
suatu RPM dapat dibenarkan atau tidak. Keuntungan bagi persaingan terutama
adalah bahwa RPM dilakukan untuk menghindari free riding oleh retailer. Sebagai contoh, saya pergi ke
supermarket A karena di sana saya mendapatkan informasi lengkap mengenai suatu
produk X yang saya butuhkan, namun setelah saya mendapatkan informasi tersebut,
saya membeli produk X dari supermarket B yang sebenarnya tidak memberi
informasi apapun untuk konsumen namun harganya jauh lebih murah. Dalam
contoh ini, supermarket B merupakan free
rider alias numpang gratis terhadap pelayanan baik dari supermarket A yang
tentunya memakan biaya bagi A dan karena itu harga produk X di A lebih mahal. RPM
oleh karena itu kadang dilakukan untuk mendorong persaingan non-harga di tingkat
retail untuk produk dalam brand yang sama (intra
brand competition), terutama untuk memberikan lebih banyak pelayanan bagi
konsumen. Hukum persaingan di Amerika Serikat (US Antitrust), misalnya, sejak kasus Leegin tahun 2007 telah beralih dari
pendekatan per se illegal ke
pendekatan rule of reason dalam
kasus-kasus RPM.
Bagaimana
di Indonesia? Secara umum kartel juga dilarang di Indonesia. Penetapan harga
dilarang dalam Pasal 5-8 UU No. 5 Tahun 1999. Pasal 8 melarang secara khusus
RPM. Namun demikian, dari perumusan pasal tersebut, hukum persaingan Indonesia
tampaknya lebih condong pada pendekatan rule
of reason daripada per se illegal. Pasal
8 memuat elemen dampak negatif terhadap persaingan dalam perumusan di akhir
kalimat pasal yang mengatakan “… sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat”. Pendekatan ini juga terlihat dalam Peraturan
KPPU No. 8 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 8 (Penetapan Harga Jual Kembali) –
dapat diunduh dari website KPPU di sini. Pengaturan
harga dalam bentuk regulasi yang menentukan harga plafon (harga maksimal) atas
suatu produk untuk kesejahteraan konsumen namun demikian tidaklah dilarang dan
hal ini tidak termasuk dalam pembahasan kali ini.
Loyalitas Anggota
Kartel
Kartel memiliki daya tarik karena keuntungan ekonomis yang
diperoleh oleh anggota-anggotanya. Kartel juga sulit dibongkar karena loyalitas
anggota-anggotanya untuk menjaga kerahasiaan kartel. Dengan demikian, untuk
menjalankan praktik kartel diperlukan bukan hanya jaminan profit yang akan
diperoleh kemudian, melainkan juga insentif untuk para anggotanya untuk tidak keluar
dari kartel dan lebih lagi, membocorkan rahasia kartel. Selain itu, dibutuhkan
pula kontrol untuk memastikan kepatuhan anggota kartel secara konsisten. Dalam
kasus di atas, sebagai contoh, produsen yang terlibat dalam kartel memberikan
bonus, refund, atau rabat sebagai imbalan bag suprmarket yang loyal. Biaya yang dikeluarkan
untuk imbalan ini diperlakukan sebagai biaya untuk insentif promosi (Werbekostenzuschüsse). Terhadap yang tidak patuh, produsen akan
mengenakan sejumlah sanksi mulai dari mengurangi bonus hingga menghentikan
pasokan barang. Loyalitas anggota kartel dapat digambarkan dalam konsep the prisoner's dilemma, namun hal ini akan dibahas dalam kesempatan lain.
Pembuktian Kartel
Manakala harga suatu produk
tertentu di pasar sedemikian tinggi dan semua pelaku usaha menawarkan harga
yang sama, maka perlu dicek apakah telah terjadi praktik pengaturan harga oleh
pelaku usaha. Tentu hal tersebut bukanlah bukti adanya kartel, melainkan dapat
digunakan sebagai salah satu indikasi untuk mencurigai adanya hal yang tidak
wajar di pasar. Kesepakatan pengaturan harga lazimnya dilakukan secara diam-diam dan sulit
dibuktikan.
Di Indonesia, kesulitan pembuktian praktik kartel ditambah lagi dengan keterbatasan otoritas
persaingan untuk memperoleh alat bukti. Di Jerman, penggeledahan dan penyadapan
dapat dilakukan oleh Bundeskartellamt. Kasus di atas terbongkar setelah
penggeledehan yang dilakukan semula karena adanya kecurigaan kartel harga
horisontal di antara pelaku retail (supermarket). Di Indonesia, kewenangan KPPU
rupanya tidak sampai sejauh itu. Beberapa terobosan yang telah efektif
digunakan di negara lain juga rupanya masih dijajagi penerapannya di Indonesia
dan untuk itu telah terdapat sejumlah hal yang dapat menjadi benturan. Salah
satunya, program leniency yang memberikan perlindungan untuk whistle blower
yang membantu otoritas persaingan untuk membongkar kartel akan sulit untuk diterapkan
secara efektif jika sanksi atas pelanggaran kartel terlalu rendah, sehingga
leniency yang diberikan untuk whistle blower tidak lagi memiliki daya tarik
mengingat risiko yang tidak kecil yang ditanggungnya untuk membocorkan rahasia
kartel.
Penutup
Industri retail makanan memang merupakan sektor yang sangat penting karena
menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. Hukum persaingan dapat
memberi kontribusi penting untuk menjaga agar kepentingan masyarakat, dalam hal
ini konsumen, terlindungi dari praktik-praktik persaingan yang tidak sehat,
misalnya perilaku curang demi meraih posisi dan keuntungan monopolistis, apakah
dengan cara menyalahgunakan kekuatan pelaku usaha dalam pasar ataupun dengan
membuat kesepakatan curang seperti dalam kasus di atas. Harga sampai dengan
saat ini masih merupakan elemen yang dapat digunakan sebagai indikasi. Namun
demikian, di kemudian hari, hukum dan otoritas persaingan akan berhadapan
dengan tantangan yang lebih besar lagi, manakala elemen lain mulai harus diperhitungkan
dalam analisis dan bukan tidak mungkin akan mensyaratkan sejumlah perubahan
dalam peraturan dan kebijakan persaingan, apalagi karena elemen ini tidak
selalu sejalan dengan harga rendah: inovasi.